08 Maret 2010

Sejarah Sarang Walet

Sejak ratusan tahun yang lalu, kekaisaran Cina mengetahui adanya sarang burung gua yang dapat memberikan manfaat kesehatan bagi mereka yang mengkonsumsinya.

M. NOERDJITO
PENELITI ZOOLOGI PADA PUSAT PENELITIAN BIOLOGI LIPI

Sejak ratusan tahun yang lalu, kekaisaran Cina mengetahui adanya sarang burung gua yang dapat memberikan manfaat kesehatan bagi mereka yang mengkonsumsinya. Burung penghasil sarang yang dapat dimakan ini tidak lain adalah burung walet Aerodramus fuciphagus.

Di kekaisaran Cina, sarang walet hanya diperoleh di Pulau Hainan, sebuah pulau kecil di Cina bagian selatan. Kebutuhan yang sangat tinggi menyebabkan harga sarang walet menjadi sangat mahal sehingga pada waktu itu hanya terbeli oleh keluarga kaisar. Itu pun diperkirakan masih tidak mencukupi. Karena itu, Kaisar Cina mengutus para pedagang untuk mencari sarang walet dari daerah lain. Dalam perjalanan ke selatan, para “utusan” kaisar itu menemukan bahwa sarang yang mereka cari terdapat di Sarawak dan Jawa. Di kedua daerah itu, sarang walet belum dimanfaatkan sebagai makanan. Terjadilah perdagangan sarang walet antara kerajaan di Jawa dan kekaisaran Cina.

Secara alami, burung walet beristirahat dan berbiak di dalam gua yang gelap total, yang umumnya berada pada tebing-tebing curam. Untuk mencapai mulut gua walet, para pengunduh menggunakan bambu, tangga bambu, atau tali yang kadang-kadang dilengkapi injakan. Banyak di antara mulut gua yang berada tepat di tempat pecahnya gelombang laut sehingga untuk dapat memasuki gua perlu memperhitungkan saat pasang-surut air laut. Pada langit-langit gua umumnya terdapat batuan yang menggantung, keras, dan runcing yang siap membentur kepala para pengunduh sarang yang kurang hati-hati. Lantai dasar gua umumnya tidak rata, dan bahkan banyak terdapat lekukan-lekukan menyerupai sumur besar yang dalam yang siap menelan para pemburu sarang yang kurang waspada atau yang bernasib malang. Keterbatasan populasi walet serta risiko pengambilan yang demikian tinggi menyebabkan harga sarang walet dari gua menjadi sangat tinggi. Harga 1 kilogram sarang walet dari gua dapat mencapai 15 juta rupiah.

Rumah walet
Keberuntungan serta akal budi manusia menuntun mereka menciptakan rumah walet. Pembuatan rumah walet diawali dengan diisinya bagian-bagian rumah tua yang gelap dan sedikit lembab oleh sekelompok walet. Di Indonesia, rumah kuno yang menjadi rumah walet antara lain terdapat di Kota Muntok dan Belinyu di Bangka serta Sedayu di Jawa Timur. Di Kota Demak, ada sebuah rumah (kuno) walet yang setiap panen menghasilkan sekitar 150 kg sarang–padahal setiap tahun dipanen lebih dari enam kali. Harga 1 kilogram sarang walet dari rumah itu dapat mencapai 20 juta rupiah. Keberhasilan berbagai rumah walet kuno telah mengilhami beberapa orang untuk meniru suasana gelap dan lembabnya rumah walet kuno. Beberapa dari rumah “tiruan” tersebut ditempati oleh populasi walet. Namun, lebih banyak yang tidak atau belum berhasil. Ketidakberhasilan ini umumnya terjadi karena para pengusaha umumnya meniru bangunan bakal rumah walet yang belum berhasil. Rumah walet yang sudah berproduksi sama sekali tidak boleh dikunjungi orang lain sehingga sedikit kemungkinannya untuk ditiru. Faktor keamanan menjadi pertimbangan dalam membangun rumah walet sehingga bakal rumah walet banyak yang dibuat di tengah kota. Untuk lebih mengamankan agar bangunan dapat menghasilkan sarang, banyak orang merancang rumah walet sekaligus sebagai tempat usaha ataupun tempat tinggal. Di Kota Sungailiat ada bangunan bakal rumah walet dengan rancangan lantai pertama sebagai rumah makan, lantai kedua sebagai rumah tinggal, dan lantai ketiga sebagai rumah walet. Pemilik sama sekali tidak memperhitungkan, atau mungkin juga memang tidak mengetahui, bahwa walet berpotensi sebagai penyebar penyakit yang bersifat anthropo-zoonosis. Penyakit-penyakit anthropo-zoonosis dapat ditularkan kepada manusia melalui air liur atau kotoran walet, serta gigitan berbagai serangga, terutama nyamuk.

Kurang perhitungan
Satu kekurangan besar dalam perhitungan telah terjadi. Secara alami, walet makan serangga terbang yang seluruhnya masih dihasilkan oleh alam. Ketersediaan pakan pun relatif terbatas dan sangat bergantung pada keadaan alam sehingga populasi walet yang dapat didukung oleh suatu kawasan pun menjadi terbatas. Di lain pihak, daya jelajah walet untuk mencari pakan juga ada batasnya. Misalnya dari satu kawasan tersedia sejumlah serangga terbang yang dapat “diolah” oleh suatu populasi walet menjadi 100 kg sarang. Jika pada kawasan tersebut terdapat sebuah rumah walet, rumah walet tersebut dapat menghasilkan 100 kg sarang walet per tahun. Namun, jika di daerah tersebut terdapat 100 buah rumah walet, rata-rata setiap rumah hanya akan menghasilkan 1 kg sarang setiap tahun. Suatu kenyataan bahwa ada rumah walet yang setiap tahun dapat menghasilkan sekitar 125 kg sarang. Karena itu, tidaklah mengherankan pula jika banyak rumah walet yang sejak dibangun belum pernah dihuni oleh seekor walet pun. Hal ini menjadikan banyak investasi yang sangat merugikan–suatu impian yang membuat linglung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

adsbanner

Join 4Shared Now!
 

Tukeran Link

Photobucket

Link Teman

marcellino agatha web blog tutorial
Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Page Info

Site Meter
  Pengunjung Blog Qu Nian  
free counters

Blog Qu Nian Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template